Selamat Datang Di Blog Ferdi, Selamat Membaca dan Salam kenal ya

Sabtu, 02 Juli 2011

PENEMUAN BATU MALIN KUNDANG


Para ilmuwan di Univeritas Oxford baru-baru ini telah memecahkan misteri batu Malinkundang di tanah Minang.

Sekian lama batu yg menyerupai sosok tokoh Malin Kundang tersebut, dalam cerita rakyat Minang, diyakini hanya merupakan cerita legenda belaka.

Namun para ahli sekarang telah mengetahui bahwa batu tsb diawetkan dengan formula canggih khas resep Indonesia yang kehebatannya melebihi ramuan para Mummi dari Mesir.

Formula rahasia Malinkundang terkuak setelah ditemukan sisa-sia cairan yang terdapat pada botol, terkubur secara aman, tak jauh dari batu Malinkundang.

Pada label botol tersebut tertulis dengan jelas “FOR: Malin” yang artinya “untuk Malin”. Penduduk sekitarnya dan rakyat Indonesia pada umumnya biasa menyebut “formalin” yaitu sebuah resep rahasia nenek moyang yang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat, namun karena kenaikan harga BBM dan krisis yang berkepanjangan, formalin saat ini lazim dipakai untuk mengawetkan tahu, ikan asin, bakso, mie basah dan tentu saja… Mayat, seperti dapat terlihat pada batu Malin Kundang yang masih tetap awet sampai sekarang di tanah

TENTANG** SITI NURBAYA DI RANAH MINANG


Makam Siti Nurbaya yang konon berada di Gunung Padang masih menjadi misteri. Simpang siurnya pemilik makam itu, membuat warga luar Gunung Padang menganggap sebagai tempat keramat.

Sejumlah warga yang datang ke makam itu ternyata bukan hanya ingin menikmati sejarah, namun kerap dijadikan tempat persemedian. Hal ini dibenarkan oleh Syahbudin Abas (43), warga sekitar.

Pria yang kerap mendampingi para peziarah itu mengatakan, tidak jelasnya pemilik makam tersebut membuat warga tidak bisa menolak pengunjung yang ingin melakukan ritual tertentu.

Dia menceritakan, peziarah yang datang ke kuburan tersebut bukan hanya satu atau dua orang, sesekali ada rombongan yang datang. Salah satu waktu yang diminati yakni menjelang hari raya Idul Adha.

“Dalam seminggu itu pasti ada orang yang datang bersemedi ke makam, tidak hanya dari Padang di luar Padang juga ada yang datang, seperti Medan bahkan dari Jawa juga ada yang sampai ke sini,” ujarnya.

Mereka umumnya melakukan ritual pertapaan selama 1 hari hingga 2 minggu. Mereka percaya jika ritual tersebut dilakukan, maka keinginanya untuk menjadi orang sukses akan terwujud.

“Ada yang minta kaya, minta anak, minta kelulusan banyaklah. Kita kan tidak tahu apa tujuan mereka, yang jelas kita hanya mengantarkan mereka ke kuburan,” tuturnya.

Biasanya kalau ada yang terpenuhi cita-citanya akan kembali ke makam untuk menunaikan nazarnya. “Kelambu itu bukan warga sini yang memberikan tapi orang yang terpenuhi nazarnya dan mereka memberikan kelambu di atas makam tersebut,” ujarnya.

Yang lebih mengherankan ada warga Sungai Limau, Pariaman, bernama Munir atau lebih dikenal Buyuang Katuang pernah datang ke kuburan Siti Nurbaya.

Pria yang kerap disapa Bang Udin ini menjelaskan, Munir mengaku sebagai keturunan Siti Nurbaya. Namun dia tidak pernah lagi datang berziarah ke kuburan itu.

“Saat datang dia sudah sangat tua. Semenjak datang berziarah ke makam tersebut beberapa tahun lalu sampai saat ini tidak pernah datang lagi,” paparnya.

Namun yang paling mencengangkan cerita warga Padang Kapeh yang melakukan ritual sekira tahun 2000-an.

“Dia bersemedi di makam itu selama dua minggu, mereka bertujuan bersemedi itu untuk mendapat mukjizat atau mendalami ilmunya. Namun setelah bersemedi ia mengatakan kepada saya bahwa yang bersemayam dalam kuburan itu bukan perempuan tetapi laki-laki,” katanya.

Bang Udin memang pernah mendapat kabar makam itu bukan kuburan Siti Nurbaya. Sebagian menyakini makam tersebut milik seorang Syekh dari Banten.

“Dulu kan tidak seperti ini, warga yang menemukan kuburan itu hanya berupa gundukan tanah dan memiliki dua batu mirip batu nisan. Setelah diperhatikan batu itu bertuliskan Syekh bukan Siti Nurbaya, namun setelah pemugaran makam tersebut nama yang sebelumnya ditulis itu sudah dihapus. Saya dapat info bahwa makan itu milik seorang Syekh dari Banten, dan keberadaan kuburan ini sudah ada pada tahun 1918 lalu,” ujarnya.

Namun sebagian warga masih menyakini makam tersebut sebagai makam “Siti Nurbaya”. Meski demikian, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus segera turun tangan.

Ini dilakukan agar warga mengetahui apakah benar makam tersebut milik Siti Nurbaya atau memang makam seorang Syekh. Sehingga warga tidak terjebak dengan polemik yang berkepanjangan.
SEJARAH SITI NURBAYA DI RANAH MINANG.
Jika berbicara Sumatera Barat sepertinya tidak pernah habis dengan cerita rakyat atau urban legend. Sebut saja salah satunya yakni kisah “Siti Nurbaya”.

Langsung saja kerutan dahi kita mengingat peristiwa nikah paksa yang dilakukan seorang pengusaha tamak bernama Datuak Maringgih, terhadap anak Bagindo Sulaiman, Siti Nurbaya.

Padahal Siti telah dijodohkan oleh Syamsul Bahri sejak mereka masih kecil. Namun karena utang terhadap Datuak Maringgih, akhirnya Sulaiman merelakan anak gadisnya untuk dinikahkan pria berusia senja tersebut.

Namun karena cintanya dengan Syamsul Bahri, Siti akhirnya mengakhiri hidupnya dengan memakan lemang beracun. Belakangan Syamsul dan Datuak Maringgih bertemu di medan perang dan akhirnya keduanya meninggal dunia.

Iya sepenggal cerita bersejarah ini menjadi populer sekira 1980-an. Saat itu televisi nasional di Indonesia memfilmkan buku yang ditulis oleh seorang sastrawan bernama Marah Rusli pada 1922 lalu.

Cetakan dari Balai Pusataka ini pun menjadi kisah “Romeo dan Juliet” versi Sumatera Barat yang tak lekang oleh zaman. Bahkan salah satu band ternama di Indonesia membuat lagu berjudul “Siti Nurbaya.”

Legenda ini memang menjadi cerita bersejarah tidak hanya bagi warga yang terkenal Jam Gadang itu, namun cerita ini sudah menjadi dongeng rakyat Indonesia.

Namun apakah Anda tidak penasaran dengan kebenaran legenda itu? Benarkah cerita itu dalam kenyataan atau hanya memang menjadi cerita semata.

Beberapa waktu lalu okezone mencoba penelusuran mengenai cerita rakyat tersebut. Penulis pun mendapat kabar adanya makam “Siti Nurbaya” berada di  Gunung Padang.

Tanpa menunggu waktu, penulis pun memulai perjalanan ke gunung yang berjarak sekira dua kilometer dari pusat kota. Membutuhkan waktu sekira 15 menit dengan mengendarai motor penulis bisa mencapai kaki Gunung Padang.

Penulis tidak perlu mengeluarkan uang untuk mencapai bukit setinggi 400 meter tersebut. Karena memang Pemerintah Provinsi tidak menyediakan loket penjualan karcis untuk memasuki gerbang “dahulu kala” itu.

Kaki penulis pun seakan tak lelah melintasi jalan setapak selebar satu meter itu. Bayangan akan sejarah tak ternilai itu pun melecut penulis untuk terus mencapai makam tersebut.

Setelah berjalan selama 30 menit, penulis pun menemukan pondok peristirahatan. Napas penulis yang mulai “kembang kempis” pun mencoba di normalkan sembari menyelonjorkan kaki yang sudah keras akibat jalan menanjak.

Namun jangan khawatir, perjalan menuju jalan ini mata penulis seakan dimanjakan dengan pemandangan Kota Padang. Indahnya kota Gadang itu dan semilir angin, membuat badan penulis kembali bangkit.

Beberapa menit setelah istirahat, penulis pun kembali melanjutkan perjalanan menuju makam kekasih Syamsul Bahir itu. Jalan setapak yang berliku dan menanjak itu tidak menyurutkan penulis untuk melangkahkan kaki.

Di jalan ini penulis harus ekstra hati-hati. Pasalnya, tangga dibuat oleh pemerintah sudah berlumut dan licin. Sebelum mencapai makam Siti Nurbaya, penulis dihadapkan dengan persimpangan jalan.

Jika penulis mengambil jalan lurus, maka akan mencapai Gunung Padang. Dan kalau mengambil arah kanan akan menemukan makam Siti Nurbaya. Penulis pun mengambil jalan ke arah itu.

Sampai di sini, penulis pun harus menempuh perjalanan menunduk dan turun sejauh 5 meter. Tak berapa lama, penulis akhirnya menemukan sebuah kuburan yang diselimuti kelambu putih.

Makam yang terbuat dari sebagian besar semen tersebut, terlihat indah dengan latar belakang pemandangan turunnya matahari atau sun set. Sayangnya nisan dari semen tersebut tidak terlihat jelas nama jasada yang dimakamkan.

Warga sekitar menyakini makam tersebut sebagai makam Siti Nurbaya. Kuburan yang terlihat sedikit kusam itu tampak diapik dua buah batu. Bahkan dalam kondisi tertentu makam ini banyak didatangi warga.

Syahbudin Abas (43), warga sekitar, belum terlalu yakin bahwa makam tersebut adalah makam istri kesekian Datuak Maringgih. Namun dia mengakui berdasarkan cerita warga sekitar makam itu adalah Siti Nurbaya.

SEJARAH BATU MALIN KUNDANG

Pantai Air Manis Objek Wisata Favorit KOTA MADYA PADANG
Pantai Aia Manih menjadi lokasi wisata favorit yang ada di Padang. Legenda MALIN KUNDANG akan menyapa pelancong saat menginjaki kaki di pasir berwarna coklat keputihan, Seonggok batu dan relief cerita Malin Kundang menghiasi kawasan wisata pantai yang dipadati pengunjung di waktu liburan.
Pantai Air Manis menjadi lokasi wisata favorit yang ada di Padang. Legenda Malin Kundang akan menyapa pelancong saat menginjaki kaki di pasir berwarna coklat keputihan, Seonggok batu dan relief cerita Malin Kundang menghiasi kawasan wisata pantai yang dipadati pengunjung di waktu liburan. Konon kabarnya, batu besar tersebut merupakan kapal besar dan jasad Malin Kundang yang terdampar. Menurut legenda rakyat, Malin Kundang dan kapalnya dikutuk menjadi batu karena kedurhakaannya pada orang tua.
Pantai Air Manis Padang
Batu Malinkundang
Pantai landai nan luas di Pantai Air Manis memberikan lokasi bermain bagi para pengunjung. Bahkan di saat pasang surut, pengunjung bisa melihat biota laut yang menyembul ke permukaan. Dengan berjalan kaki, Anda pun bisa menuju Pulau Pisang Kecil yang berada tak jauh dari tepian Pantai Air Manis. Pulau yang tak begitu luas tersebut, bisa dijadikan tempat peristirahatan sejenak sambil menikmati bekal makanan yang telah dipersiapkan.
Pulau Pisang Kecil dihiasi dengan pohon Jambu Kaliang yang bisa dinikmati para pengunjung dengan gratis. Tapi ingat, jangan terlalu lama menikmati suasana di pulau tersebut. Karena, berselang beberapa jam, air pasang akan berangsur-angsur naik seperti sediakala sehingga akses menuju PULAU PISANG Kecil tidak dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Tak jarang, kalangan muda di KOTA MADYA PADANG juga memanfaatkan Pantai Air Manis sebagai tempat perkemahan. Debur ombak bergulung di daerah tersebut juga dimanfaatkan para peselancar untuk berselancar. Akses menuju kawasan wisata Pantai Air Manis dapat dituju dari beberapa arah. Pantai yang terletak di Kecamatan Padang Selatan tersebut, bisa ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 30 menit dari pusat kota.
Dari kawasan GUNUNG PEMECAH OMBAK PANTAI PADANG pun, para wisatawan dapat menempuh Pantai Air Manis dengan berjalan kaki. Jalur tersebut cukup melelahkan tapi memberikan pengalaman berpetualang yang menyenangkan. Sejumlah penginapan (homestay) bisa ditemui di Pantai Ara Manis jika Anda ingin menghabiskan malam di kawasan wisata tersebut. Mengenai harga, konon kabarnya tidak terlalu mahal karena dikelola masyarakat setempat. ( Sumber berita : NANDAFERDIAN– Padang Today)

MASAKAN KAASS PADANG....

"Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya", salah satu pepatah Minang yang artinya bahwa tiap satu daerah mempunyai tradisi yang berlainan dengan daerah lain mulai dari cara berpakaian, bertutur kata, hingga menyajikan menu untuk keluarga, tamu dan menantu. Sama halnya dengan di Batusangkar, Payakumbuh, ataupun di Pariaman, adat untuk menyambut tamu dengan satu sajian khusus yaitu nasi kunyik, beras pulut putih yang ditanak pakai santan kelapa kental dan diberi kunyit (sebagai pewarna), di kota Padang, Sumatera Barat pun rendang tetap menjadi menu utama yang juga masih menjadi tradisi.

Pada acara-acara resmi seperti perkawinan, syukuran, aqiqah anak dan sebagainya. Rendang  merupakan menu utama yang sudah pasti dihidangkan. Bahkan pada waktu tertentu, dalam menyambut bulan ramadhan, rendang ini disajikan sebagai menu utama makan sahur di hari pertama berpuasa. Bahkan menu rendang ini dapat menggambarkan strata sosial satu kelompok atau golongan pada masyarakat Minangkabau.

Hidangan Khas Minangkabau Dipelosok Nusatara

 

Hidangan khas Sumatera Barat ini tersedia di seluruh pelosok nusantara. Hampir bisa dipastikan setiap orang pernah mencicipinya. Variasi bahan baku untuk masakan asal Sumatera Barat ini sungguh banyak. Cita rasa yang utama di temui pada masakan khas Minang adalah gurih dan pedas. Rasa gurih dan pedas tersebut diperoleh dari santan dan cabai merah yang memang banyak di konsumsi orang Minang.
Itu bila bicara soal cita rasanya, sedangkan bahan bakunya bisa menggunakan daging sapi, jerohan sapi, otak, ayam, bebek, ikan mas, gurami dan telur ayam. Sementara sayurannya lebih banyak menggunakan kacang panjang, daun singkong, pakis, nangka, buncis, serta petai dan jengkol.
Bumbu dalam masakan Minang memegang peranan penting. Orang Minang tidak pernah pelit bumbu. Selalu bumbunya kental dan terasa pekat. Bumbu yang selalu dipakai adalah cabai merah, bawang putih, jahe, lengkuas, kunyit dan daun kunyit, daun mangkokan.
Orang Minang juga tidak pernah menggunakan gula dalam memasak, baik gula merah maupun gula putih. Gula hanya digunakan untuk membuat kue saja.
Untuk bawang putih, perbandingan yang digunakan adalah 1 : 2 dengan bawang merah. Bahkan ada yang menulis bahwa perbandingan bumbu dan isi dalam masakan minang adalah 3 : 8. Jadi, bisa dipastikan, betapa gurihnya masakan Minang ini.

Masakan yang mewakili Indonesia

Pengakuan international terhadap kelezatan masakan khas Minangkabau ini dibuktikan dengan terpilihnya rendang khas Minangkabau ini sebagai makanan yang wajib dicicipi bila berkunjung ke Indonesia. Dalam majalah ASIA WEEK dalam rubrik ASIA’S BEST pada edisi tanggal 18 Agustus 2000 disebut rendang khas Minangkabau sebagai salah satu makanan terbaik di asia dan juga sebagai masakan yang paling diingat oleh orang-orang asing dari mancanegara bila teringat akan Indonesia.
Restaurant yang mendapat kehormatan sebagai penyaji masakan minang ini dalam ASIA’S BEST adalah Sabana Nasi Kapau di
Jalan Melawai Raya No. 21-A, Blok M, Jakarta Selatan. Jadi silakan mencoba.
Restoran Masakan Padang Sabana Nasi Kapau

Jumat, 01 Juli 2011

PENCAK SILAT KOTA MADYA PADANG

pencak silat atau yang dikenal dengan ‘silek’merupakan ilmu bela diri yang berakar dari bangsa Melayu. Etnis Melayu biasanya disebut penduduk yang terhampar di kepulauan yang meliputi Malaysia, Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam, Filipina dan beberapa pulau kecil yang berdekatan dengan negara-negara tersebut, walaupun sebetulnya penduduk Melayu adalah hanya suatu etnis di antara ratusan etnis yang mendiami kawasan itu.

Di negara-negara inilah ilmu bela diri pencak silat dapat ditemukan, walaupun istilah penyebutan bisa bermacam-macam. Di semanjung Malaysia teknik membela diri dalam pergaduhan atau pertarungan disebut ‘silat’. Silat ini terdiri atas lebih daripada 260 gaya atau aliran dengan nama yang berbeda, tergantung pada teknik atau daerah asalnya, misalnya ‘gayong’, ‘gayong Fatani’, ‘cekak’, ‘keletan’, ‘lintau’ dan ‘saterlak’. Istilah ‘silat’ juga dipergunakan di negara tetangga, Singapore. Di sana terdapat sekitar 15 perguruan, yaitu lembaga pendidikan tempat berguru pencak silat. Beberapa di antaranya, seperti ‘gayung’ dan ‘cekak’, mempunyai kemiripan nama dengan gaya-gaya Malaysia dan negara-negara tetangga yang lain.

Begitupun, di beberapa propinsi Thailand Selatan di mana penduduknya adalah dari suku bangsa Melayu, yaitu Pattani, Yala dan Narathiwat, istilah yang dipakai adalah ‘silat’. Sama hal nya, di Brunei Darussalam dan di Filipina Selatan, di mana ilmu bela diri Melayu ini disebut juga istilah ‘silat kuntao’. Di daerah-daerah kepulauan Sulu di Filipina selatan, digunakan istilah istilah ‘silat-kalis’.

Di Indonesia, negara yang menjadi pusat perhatihan, ilmu bela diri tradisional ini dikenal dengan nama resminya ‘pencak silat’. Tetapi, di tiap daerah, masyarakat setempat memiliki istilah-istilah yang berbeda. Pada umumnya, dari Barat ke Timur, pencak silat dikenal di Sumatera Barat dengan istilah ‘silek’ dan ‘gayuang’, dan di pesisir Timur pulau itu, sama dengan negara tetangga Malaysia, dengan istilah ‘silat’; di Jawa Barat dengan sebutan ‘maempo’, dan ‘penca’; di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan nama ‘pencak’; di Madura dan di pulau Bawean dengan ‘mancak’; di Bali dengan ‘mancak’ maupun ‘encak’, di kabupaten Dompu, di Nusa Tenggara Barat dengan ‘mpaa Sila’; dan di Bulungan Kalimantan Timur dengan istilah ‘bemancek’.

asal muasal pencak silat pun masih menjadi tanda tanya, para ahliantropologis berusaha mencari tahu tentang keaslian olah raga bela diri ini. Ada beberapa legenda tentang silat ini dianataranya cerita tentang seorang wanita yang melihat perkelahian belalang besar di tepi sungai. Wanita itu mangamati gerak gerik belalang tersebut sehingga dia tidak sadar sudah lama menghabiskan waktu mengamati kedua binatang tersebut. Suami wanita tersebut kesal menunggu dirumah dan mencari wanita tersebut, alangkah terkejutnya suami tersebut mendapati istrinya sedang duduk menatap sungai. Dengan persaan marah san suami hendak memukul istrinya tersebut, namun san istri bisa mengelak dan melumpuhkan suaminya. Sang suami sangat terkesan terhadap kepintaran istrinya yang berhasil mengalahkannya. Akhirnya sang suami meminta istrinya untuk mengajari ilmu yang dia dapat dari mengamati belalang tersebut.

Cerita lain tentang pencak silat yang erat kaitannya dengan Minangkabau adalah saat raja minangkabau yang mengkombinasikan ilmu beladiri dari empat orang pengawalnya yang berasal dari berbagai Negara, Persia, Cina, Vietnam dan Siam. Gabungan ilmu beladiri dari para pengawal ini dinamakan oleh masyarakat minangkabau sebagai ‘silek’. Silek ini pun beragam teknik tergantung dari temapat dimana dipelajari diantaranya; Silek Tuo, Silek Pauh, Silek Kumango, Silek Seteralak dan Silek Lintau. Walaupun berbeda dalam penyebutan serta teknik namun pada dasarnya silek terdiri dari emat aspek yaitu :
Bela diri, Seni, Olah raga dan Mental / sipiritual










1. SILAT PT SEMEN PADANG.




Menyikapi kian memudarnya tradisi pencak silat di tengah masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, PT Semen Padang menggelar Kejuaraan Pencak Silat Pandeka Minang Se-Sumbar. Acara ini dihelat 1-4 Maret, bertempat di GOR PT Semen Padang, Indarung, Padang.
Kejuaraan Pencak Silat ini digagas oleh Forum Komunikasi Karyawan PT Semen Padang (FKKSP) dengan tujuan merangsang anak muda untuk kembali menggeluti silat tradisi Minang yang kian terancam punah. Selain itu, tujuan lain diadakannya iven ini adalah untuk mengembalikan pamor silat tradisi Minang ke level nasional.
Menurut Ketua Umum FKKSP, Agus B Nurbiantoro, digelarnya Kejuaraan Pencak Silat ini untuk merangsang generasi muda menerjuni olahraga ini. Soalnya, silat tradisi Minangkabau terancam punah, karena kurangnya animo generasi muda untuk mempelajarinya.
“Saat ini generasi muda lebih tertarik mempelajari ilmu beladiri yang berasal dari luar karena cukup mudah dikuasai. Adapun seni silat tradisi Minang dinilai sangat rumit, berfilosofi tinggi, bahkan ilmunya cukup sulit didapat. Karena itu, untuk tahap awal kami menggelar kejuaraan ini,” ungkap Agus yang didampingi Ketua Panitia Amral Ahmad.
Iven dengan total hadiah sebesar Rp34,5 juta plus piala dan piagam ini rupanya mendapat antusias dari sejumlah perguruan silat yang ada di Sumatera Barat. Beberapa hari menjelang digulirnya pertandingan, sebanyak 152 pesilat dari 18 perguruan silat yang ada di Sumbar menyatakan ikut ambil bagian pada iven yang bakal mempertandingkan dua nomor itu, yakni silat laga dan pertandingan silat tradisional. Untuk nomor silat tradisional, sebanyak 39 perguruan sudah mendaftarkan diri ke panitia. 
Pada nomor silat laga, akan mempertandingkan kelas A hingga E. Sementara untuk nomor silat tradisional akan mempertandingkan kelas berpasangan putra 9-16 tahun, berpasangan putra 17-18 tahun, dan berpasangan putri 9-18 tahun.
Muara dari diadakannya Kejuaraan Pencak Silat ini tak lain adalah mencari kembali pesilat Sumbar untuk PON XVIII 2010 di Riau nanti, serta untuk menyeleksi pesilat interen FKKSP.
“Selama ini pencak silat disebut-sebut berasal dari Minangkabau. Namun prestasi Sumbar di kancah Nasional beberapa tahun ini kurang memuaskan. Ironisnya lagi, di kancah Internasional, nama Indonesia tak lagi harum, bahkan tak lebih baik dari pesilat luar negeri. Padahal kita adalah akar dari tradisi silat itu sendiri. Nah, untuk menyikapi itu FKKSP memberikan sumbangsih kecil untuk kembali membangun pesilat andal yang kita miliki,” sebut Amral Ahmad.

Kamis, 30 Juni 2011

aneka ragam provinsi sumatera barat

Kawasan Sumatera Barat pada masa lalu merupakan bagian dari Kerajaan Pagaruyung. Setelah perjanjian yang dibuat oleh pemuka Adat serta kerabat Yang Dipertuan Pagaruyung, dan berakhirnya Perang Padri, kawasan ini menjadi dalam pengawasan Belanda.[5]
Selanjutnya dalam perkembangan adminisitrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, daerah ini tergabung dalam Gouvernement Sumatra's Westkust yang juga mencakup daerah Tapanuli, kemudian tahun 1905 wilayah Tapanuli menjadi Residentie Tapanuli selain Residentie Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden. Kemudian di tahun 1914, Gouvernement Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadi Residentie Sumatra's Westkust dan di tahun 1935 wilayah Kerinci digabungkan ke dalam Residentie Sumatra's Westkust.[6]
Pada masa pendudukan tentara Jepang Residentie Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu serta daerah Bangkinang dikeluarkan masuk ke dalam wilayah Riau Shu
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Provinsi Sumatera kemudian dipecah menjadi tiga, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat merupakan bagian dari keresidenan di dalam provinsi Sumatera Tengah beserta Riau dan Jambi.
Berdasarkan Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, Sumatera Tengah kemudian dipecah lagi menjadi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, residensi Sumatera Barat, digabungkan ke dalam provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Pada awalnya ibukota provinsi baru ini adalah Bukittinggi, namun kemudian dipindahkan ke Padang.


Geografi

Sumatera Barat berada di bagian barat tengah pulau Sumatera, memiliki dataran rendah di pantai barat, serta dataran tinggi vulkanik yang dibentuk Bukit Barisan membentang dari barat laut ke tenggara. Garis pantai provinsi ini seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km. Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera Hindia dan beberapa puluh kilometer lepas pantai Sumatera Barat termasuk dalam provinsi ini.

Sumatera Barat memiliki beberapa danau diantaranya Maninjau (99,5 km²), Singkarak (130,1 km²), DiatasDibawah (Dibaruh) (14,0 km²) dan Talang (5,0 km²). (31,5 km²),
Beberapa sungai besar di pulau Sumatera berhulu di provinsi ini, diantaranya Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), Sungai Kampar dan Batang Hari. Semua sungai ini bermuara di pantai timur Sumatera, di provinsi Riau dan Jambi. Sementara sungai-sungai yang bermuara di pantai barat berjarak pendek. Beberapa di antaranya adalah Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan.

Keanekaragaman hayati

 

 

 

 

S
umatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati. Sebagian besar wilayahnya masih merupakan hutan tropis alami dan dilindungi. Berbagai spesies langka masih dapat dijumpai, misalnya Rafflesia arnoldii (bunga terbesar di dunia), harimau sumatera, siamang, tapir, rusa, beruang, dan berbagai jenis burung dan kupu-kupu.
Terdapat dua Taman Nasional di provinsi ini, yaitu Taman Nasional Siberut yang terdapat di pulau SiberutTaman Nasional Kerinci Seblat. Taman nasional terakhir ini wilayahnya membentang di empat provinsi: Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. (Kabupaten Kepulauan Mentawai) dan
Selain kedua Taman Nasional tersebut terdapat juga beberapa cagar alam lainnya, yaitu Cagar Alam Rimbo Panti, Cagar Alam Lembah Anai, Cagar Alam Batang Palupuh, Cagar Alam Air Putih di daerah Kelok Sembilan, Cagar Alam Lembah Harau, Cagar Alam Beringin Sakti dan Taman Raya Bung Hatta.

Sejarah kota bukittinggi Dan wali kota bukittinggi

Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825[6] pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini, dikenal sebagai Benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota),[7] dan juga berfungsi sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.[8]
Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, di mana pada kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.[9] Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibukota Provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.[10] Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, di mana pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini ditunjuk sebagai ibukota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dikemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 18 Desember 2006.[11][12]

Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu,[13] yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang.
Walaupun setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 sebagai dasar hukum baru pemerintahan daerah Kota Bukittinggi namun dalam implementasinya sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan.[14]

Geografi

Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago, serta berada pada ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut. Kota ini juga berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1 – 24.9 °C. Sementara dari total luas wilayah kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan ini, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 - 110 m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang yang bermuara di pantai barat pulau Sumatera.

Kependudukan

Perkembangan penduduk kota Bukittinggi tidak lepas dari berubahnya Bukittingi menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau, dimulai dengan dibangunya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1890 dengan nama loods, masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.[3] Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi, mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock sebelah barat, membujur dari selatan ke utara, saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling.

Pemerintahan

 Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar wali kota Bukittinggi

Balai kota Bukittinggi
Sejak tahun 1918 kota Bukittinggi telah berstatus gemeente,[15] selanjutnya tahun 1930 wilayah kota ini diperluas menjadi 5.2 km².[16] Pada masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali diperluas. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas wilayah kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia-Belanda maupun Jepang.
Saat ini batas wilayah pemerintahan kota ini dikelilingi oleh kabupaten Agam, dan konfik antara kedua pemerintah daerah tersebut tentang batas wilayah masih berlanjut,[17] ditambah setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah kota Bukittinggi dan kabupaten Agam, dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah kota Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km², dengan memasukan beberapa nagari yang sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah administrasi kota Bukittinggi.[18]
Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang memberikan hak otonomi yang luas kepada kabupaten dan kota, muncul kembali penolakan dari masyarakat kabupaten Agam atas perluasan dan pengembangan wilayah kota Bukittinggi tersebut. Bagi masyarakat kabupaten Agam yang masuk ke dalam wilayah perluasan kota ini, merasa rugi karena dengan kembalinya penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan, dibandingkan berada dalam sistem kelurahan. Selain itu timbul asumsi, masyarakat kota yang telah heterogen juga dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada tradisi adat dan kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari.

Pendidikan

Sejak zaman kolonialis Belanda, kota ini telah menjadi pusat pendidikan di pulau Sumatera,[20] dimulai sejak tahun 1872, dengan berdirinya Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (sekolah guru untuk guru-guru bumiputera) atau dikenal juga dengan nama sekolah radja, yang selanjutnya berkembang menjadi volksschool atau sekolah rakyat. Kemudian pada tahun 1912 muncul Holandsch Inlandsche School (HIS), yang dilanjutkan dengan berdirinya Sekolah Pamong Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren (OSVIA) tahun 1918. Pada tahun 1926 juga telah berdiri MULO di kota Bukittinggi.[21]
Pada masa awal kemerdekaan di kota ini pernah berdiri sekolah Polwan dan kadet serta sekolah Pamong Praja yang pertama di Indonesia, bahkan Universitas Andalas pertama kali berdiri berada di kota Bukittinggi.[22]

 
Copyright (c) Ranah Minang - Blogger Templates created by BTemplateBox.com - Css Themes by metamorphozis.com